Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai usulan pemerintah untuk menetapkan batas usia 26 tahun bagi anak perkawinan campuran untuk memilih kewarganegaraan tidak menyelesaikan akar masalah.
“Yang paling penting itu adalah kewarganegaraan itu, sekali lagi nih, penting untuk kita tahu dia punya loyalitas kemana. Kalau misalnya dia bilang, saya mau ke Indonesia, ya sudah,” kata Hikmahanto dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Rabu.
Hikmahanto menyampaikan hal tersebut dalam “Tinjauan Kritis terhadap UU No. 12/2006 dalam Perspektif Hukum” yang diselenggarakan oleh Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (PerCa) di Jakarta.
Dia menilai perpanjangan batas waktu hanya memberi ruang berpikir, tanpa mengatasi masalah utama terkait loyalitas dan pengakuan kewarganegaraan, menambahkan ada kemungkinan negara lain tetap bisa menuntut kewajiban tertentu meski si anak memilih menjadi WNI.
Hikmahanto berpendapat pemerintah harus menyelesaikan persoalan kewarganegaraan secara menyeluruh dan tidak hanya melihat isu kewarganegaraan sebatas isu anak perkawinan campuran, menambahkan ada berbagai kasus yang memerlukan solusi komprehensif dan kebijakan yang tidak setengah-setengah.
Dia juga menyoroti birokrasi yang sering menyebabkan anak kehilangan kewarganegaraan meski memenuhi syarat, seperti kasus Gloria asal Prancis, menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh menempatkan aturan administratif di atas kehendak anak untuk menjadi WNI.
Hikmahanto menilai kurangnya sosialisasi membuat masyarakat kerap tidak mengetahui perubahan aturan, mengatakan bahwa pemerintah tidak dapat beranggapan bahwa seluruh warga memahami setiap regulasi baru tanpa penjelasan apa pun.
Selain itu, dia juga menilai adanya ego sektoral dalam penyusunan undang-undang yang membuat berbagai aturan saling tumpang tindih, mengatakan bahwa kondisi tersebut menjadi penghambat utama dalam penyelesaian isu kewarganegaraan.
Untuk itu, Hikmahanto mendorong pendekatan omnibus untuk merevisi aturan terkait agar perbaikan kewarganegaraan tidak terhambat, sekaligus mencegah tumpang tindih regulasi karena dia menilai bahwa pemerintah harus melihat persoalan kewarganegaraan secara menyeluruh, bukan hanya fokus pada satu isu.
Saat ini, anak hasil perkawinan campuran memiliki kewarganegaraan ganda terbatas hingga usia 18 tahun ditambah perpanjangan maksimal 3 tahun (total 21 tahun).
Pemerintah mengusulkan batas waktu itu diperpanjang menjadi 26 tahun agar anak memiliki waktu lebih panjang untuk menentukan kewarganegaraannya.
Menurut data dari PerCa, hingga saat ini jumlah anak hasil perkawinan campuran anggota PerCa yang stateless (tidak memiliki kewarganegaraan Indonesia atau asing) mencapai 556 orang dari total 1823 orang, dan sebanyak 823 orang dari total tersebut memiliki dua kewarganegaraan.
Baca juga: Imipas luncurkan Global Citizenship solusi isu kewarganegaraan ganda
Baca juga: Asdep Kemenko: Sinergitas penting selesaikan isu kewarganegaraan
Pewarta: Cindy Frishanti Octavia
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.



























:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5378189/original/057508300_1760218015-AP25284765147801__1_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5378185/original/075981100_1760216848-AP25284735312485.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5373515/original/005480400_1759823965-WhatsApp_Image_2025-10-07_at_14.42.51.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5378190/original/039584900_1760218805-haaland_norwegia_israel.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5379757/original/042945100_1760361661-1.jpg)



:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5149557/original/032636000_1740992613-non-explicit-image-child-abuse.jpg)
